KEUTAMAAN MEMBERIKAN “PINJAMAN” KEPADA ALLAH SWT.

SEDEKAH, wakaf atau infak di jalan Allah SWT hakikatnya adalah semacam “pinjaman” yang kita serahkan kepada Allah SWT. Jika pinjaman kepada manusia akan dibayar sebesar pinjaman yang diberikan maka pinjaman kepada Allah SWT akan “dibayar” dengan pembayaran yang berlipat ganda; bisa di dunia dengan diberi keluasan rezeki dan terutama di akhirat dengan dilipatgandakan pahalanya. Allah SWT sendiri yang menyatakan demikian:

مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً 

Siapa saja yang memberi Allah pinjaman yang baik (menginfakkan hartanya di jalan-Nya), Dia akan melipatgandakan pembayarannya dengan berkali-kali lipat (QS al-Baqarah [2]: 245).

Karena keyakinan akan “pembayaran” yang berlipat ganda, Abdurrahman bin Auf adalah di antara para Sahabat Rasul saw. yang paling rajin mengeluarkan sedekah, infak atau wakaf untuk kepentingan Islam dan kaum Muslim. Beliau, misalnya, pernah menginfakkan separuh hartanya pada masa Rasulullah saw., ditambah sedekah uang 40 ribu dinar (sekitar Rp 80 miliar), ditambah lagi dengan mewakafkan 500 ekor unta dan 500 ekor kuda untuk kepentingan jihad fi sabilillah (Al-Ishâbah, II/416).

Kegemaran bersedekah dan berinfak juga ditunjukkan antara lain oleh Aisyah ra. dan Asma ra. Abdullah bin Zubair ra. menuturkan, “Aku tidak melihat dua orang wanita yang lebih murah hati daripada Aisyah dan Asma sekalipun cara keduanya berbeda. Aisyah biasa mengumpulkan uang sedikit demi sedikit, setelah terkumpul banyak, harta itu ia infakkan semuanya. Adapun Asma tidak pernah sedikit pun menyimpan harta hingga keesokan harinya (karena semuanya ia infakkan hari itu juga).” (HR al-Bukhari dalam Adab al-Mufrad)

Rasul saw. sendiri tidak suka jika di rumahnya ada harta yang banyak. Karena itu beliau, misalnya, pernah memasuki rumah Ummu Salamah ra., salah satu istri beliau, dengan rona wajah yang muram. Karena khawatir beliau sakit, Ummu Salamah ra. bertanya, “Mengapa wajahmu tampak muram?” Beliau menjawab, “Ini gara-gara tujuh dinar (sekitar Rp 15 juta) yang kemarin kita terima, tetapi hingga sore hari uang itu masih berada di bawah kasur (belum diinfakkan).” (HR Ahmad dan Abu Ya’la).

Bagaimana dengan kita? Apakah lebih suka menyedekahkan dan menginfakkan harta seperti Rasulullah saw. ataukah menumpuk harta?

Wa maa tawfiiqii illaa bilLaahi ‘alayhi tawakkaltu wa ilayhi uniib.

Arief B. Iskandar

(Khadim Ma’had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyyah Bogor)

===============================

📲 Yuk Beramal Jariyah : berbagi.link/amaljariyah
➡ Yuk Gabung Di Channel Telegram : https://t.me/pesantrendarunnahdhah

Raihlah Pahala Jariyah dengan menyebarkan konten Dakwah ini sebagai bentuk partisipasi & dukungan anda untuk Dakwah Islam.