NAMANYA Imam Laits bin Sa’ad rahimahulLah. Beliau adalah ulama besar paling terkemuka di Mesir pada zamannya. Bahkan Imam Syafi’i menyebut Imam Laits sesungguhnya lebih faqih dari Imam Malik–yang saat itu tinggal di Madinah–yang hidup sezaman dengan beliau.
Selain ulama besar dan terkemuka, Imam Laits adalah seorang pengusaha yang kaya-raya. Menurut Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, setiap tahun pendapatan Imam Laits tidak kurang dari 80 ribu dinar (sekitar Rp 160 milar hari ini).
Namun demikian, ulama sekaligus pengusaha kelahiran tahun 94 H ini terkenal shalih, zuhud, wara dan amat dermawan. Saking amat dermawannya, beliau tidak pernah membayar zakat satu dirham pun (1 dirham=Rp 70 ribu). Mengapa beliau tidak pernah membayar zakat, padahal beliau kaya-raya? Sebabnya, selalu sebelum mencapai satu tahun (haul), hartanya sebagian besar ia habiskan untuk diinfakkan dan disedekahkan (hingga yang tersisa hanya sedikit harta yang tidak terkena nishâb zakat). Begitu seterusnya.” (An-Nawawi, Tahdzîb al-Asmâ, 2/73). Masya Allah!
Imam Laits juga biasa bersedekah setiap hari untuk 300 fakir miskin. Di luar kebiasaannya itu, Imam al-Laits pernah menyedekahkan hartanya sebanyak 3000 dinar (sekitar Rp 6 miliar) kepada tiga ulama besar lainnya. Masing-masing mendapatkan 1000 dinar (sekitar Rp 2 miliar). Mereka adalah Ibnu Luhaiah, Malik bin Anas dan Qadhi Manshur bin Ammar.
Pernah ada seorang wanita miskin meminta kepada beliau madu alakadarnya untuk pengobatan anaknya yang sedang sakit. Seketika Imam Laits malah memberi wanita itu 120 liter madu.
Saat lain, saat pergi haji, Imam Laits singgah di Madinah. Saat itu Imam Malik mengirim kepada beliau beberapa lembar roti basah dari gandum di atas nampan. Setelah menyantap habis hidangan itu, Imam Laits lalu mengembalikan nampan tersebut dengan menaruh uang di atasnya sebanyak 1000 dinar (sekitar Rp 2 miliar) sebagai “tanda terima kasih” kepada Imam Malik (Lihat: Al-Irbili, Wafiyât al-Ayân wa Anbâ Abnâ az-Zamân, 4/10).
Yang tak kalah luar biasa, di tengah-tengah keberlimpahan kekayaannya, Imam Laits sering hanya makan roti kering yang dilumuri minyak zaitun. Padahal beliau biasa menjamu para tamu beliau, khususnya orang-orang miskin, yang bisa datang puluhan orang setiap harinya, dengan hidangan makanan yang lezat dan mewah (www.darulfatwa.org.au/ar).
Ada kisah lain yang tak kalah menarik. Kali ini tentang Abdullah Ibnu al-Mubarak (118-181 H). Ia adalah seorang ulama besar yang juga dikenal kaya dan amat dermawan. Ibnu al-Mubarak biasa berinfak untuk fakir miskin sebanyak 100 ribu dirham (sekitar Rp 7 miliar) pertahun.
Di luar itu ia tetap banyak bersedekah. Pernah datang, misalnya, seorang laki-laki meminta bantuan keuangan untuk membayar utangnya. Ibnu al-Mubarak lalu menulis surat kepada bendaharanya. Tatkala surat tersebut sampai kepada sang bendahara, dia bertanya kepada orang itu, “Berapa sebenarnya jumlah hutang yang engkau minta untuk dilunasi?” Orang itu menjawab, “Tujuh ratus dirham (sekitar Rp 35 juta).” Ternyata Ibnu al-Mubarak telah menulis kepada bendaharanya itu agar memberi orang tersebut sebanyak 7.000 dirham (Rp 350 juta) (Adz-Dzahabi, Siyar A’lâm an-Nubalâ, 4/256).
Ibnu al-Mubarak juga pernah membebaskan seorang pemuda yang dipenjara karena tidak sanggup bayar utang sebesar 10 ribu dirham (sekitar Rp 700 juta). Utang itu beliau lunasi tanpa sepengetahuan pemuda tersebut (Ibnu Asakir, Târîkh Dimasyqi, 8/387).
Dikisahkan pula, saat datang musim haji, sebagian kaum Muslim dari penduduk Marwa datang menemui beliau. Mereka ingin berhaji bersama beliau. Mereka lalu memberikan uang untuk biaya ibadah haji tersebut kepada beliau.
Singkat cerita, tibalah saat mereka berangkat ke Baitullah. Mereka berangkat dari Marwa ke Baghdad. Terus menuju Madinah. Selanjutnya bertolak ke Makkah. Di sepanjang perjalanan ibadah haji, Ibnu al-Mubarak memenuhi segala kebutuhan mereka dengan pelayanan terbaik.
Setibanya kembali ke Marwa, Ibnu al-Mubarak merenovasi rumah-rumah mereka. Lalu tiga hari setelah pelaksanaan haji tersebut, beliau mengundang mereka untuk makan bersama. Mereka juga diberi pakaian yang bagus. Setelah mereka selesai makan dan merasa senang, Ibnu al-Mubarak mengambil kotak tempat penyimpanan uang haji mereka. Semua uang itu dikembalikan kepada pemiliknya masing-masing (Al-Mizzi, Tahdzîb al-Kamâl, 16/21).
Dua fragmen di atas sejatinya cukup menjadi teladan bagi kita dalam bersedekah, yakni: sedekah tanpa batas, juga tanpa merasa sudah cukup banyak bersedekah.
Mengapa kedua ulama besar itu begitu ringan melakukan itu semua? Tentu karena keduanya bersedekah secara ikhlas. Apa itu ikhlas? Tidak lain beramal semata-mata hanya untuk Allah SWT. Karena merupakan persembahan khusus dan istimewa hanya untuk Allah SWT, wajar jika keduanya mempersembahkan sedekah terbaik.
Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita benar-benar ikhlas dalam bersedekah, yakni dengan mempersembahkan sedekah terbaik?!
Wa maa tawfiiqii illaa bilLaahi ‘alayhi tawakkaltu wa ilayhi uniib.
Arief B. Iskandar
(Khadim Ma’had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyyah Bogor)
===============================
📲 Yuk Beramal Jariyah : berbagi.link/amaljariyah
➡ Yuk Gabung Di Channel Telegram : https://t.me/pesantrendarunnahdhah
Raihlah Pahala Jariyah dengan menyebarkan konten Dakwah ini sebagai bentuk partisipasi & dukungan anda untuk Dakwah Islam.